Rabu, 01 Juli 2015

Kode Etik Jurnalisme

Kemerdekaan berpendapat, berekspresi, dan pers adalah hak asasi manusia yang dilindungi Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB. Kemerdekaan pers adalah sarana masyarakat untuk memperoleh informasi dan berkomunikasi, guna memenuhi kebutuhan hakiki dan meningkatkan kualitas kehidupan manusia. Dalam mewujudkan kemerdekaan pers itu, wartawan Indonesia juga menyadari adanya kepentingan bangsa, tanggung jawab sosial, keberagaman masyarakat, dan norma-norma agama.

Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers menghormati hak asasi setiap orang, karena itu pers dituntut profesional dan terbuka untuk dikontrol oleh masyarakat.

Untuk menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik untuk memperoleh informasi yang benar, wartawan Indonesia memerlukan landasan moral dan etika profesi sebagai pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan publik dan menegakkan integritas serta profesionalisme. Atas dasar itu, wartawan Indonesia menetapkan dan menaati Kode Etik Jurnalistik:

Pasal 1
Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.

Penafsiran
a. Independen berarti memberitakan peristiwa atau fakta sesuai dengan suara hati nurani tanpa campur tangan, paksaan, dan intervensi dari pihak lain termasuk pemilik perusahaan pers.
b. Akurat berarti dipercaya benar sesuai keadaan objektif ketika peristiwa terjadi.
c. Berimbang berarti semua pihak mendapat kesempatan setara.
d. Tidak beritikad buruk berarti tidak ada niat secara sengaja dan semata-mata untuk menimbulkan kerugian pihak lain.

Pasal 2
Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik.

Penafsiran
Cara-cara yang profesional adalah:
a. menunjukkan identitas diri kepada narasumber;
b. menghormati hak privasi;
c. tidak menyuap;
d. menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya;
e. rekayasa pengambilan dan pemuatan atau penyiaran gambar, foto, suara dilengkapi dengan keterangan tentang sumber dan ditampilkan secara berimbang;
f. menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto, suara;
g. tidak melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan wartawan lain sebagai karya sendiri;
h. penggunaan cara-cara tertentu dapat dipertimbangkan untuk peliputan berita investigasi bagi kepentingan publik.

Pasal 3
Wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah.

Penafsiran
a. Menguji informasi berarti melakukan check and recheck tentang kebenaran informasi itu.
b. Berimbang adalah memberikan ruang atau waktu pemberitaan kepada masing-masing pihak secara proporsional.
c. Opini yang menghakimi adalah pendapat pribadi wartawan. Hal ini berbeda dengan opini interpretatif, yaitu pendapat yang berupa interpretasi wartawan atas fakta.
d. Asas praduga tak bersalah adalah prinsip tidak menghakimi seseorang.

Pasal 4
Wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.

Penafsiran 
a. Bohong berarti sesuatu yang sudah diketahui sebelumnya oleh wartawan sebagai hal yang tidak sesuai dengan fakta yang terjadi.
b. Fitnah berarti tuduhan tanpa dasar yang dilakukan secara sengaja dengan niat buruk.
c. Sadis berarti kejam dan tidak mengenal belas kasihan.
d. Cabul berarti penggambaran tingkah laku secara erotis dengan foto, gambar, suara, grafis atau tulisan yang semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi.
e. Dalam penyiaran gambar dan suara dari arsip, wartawan mencantumkan waktu pengambilan gambar dan suara.

Pasal 5
Wartawan Indonesia tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.

Penafsiran
a. Identitas adalah semua data dan informasi yang menyangkut diri seseorang yang memudahkan orang lain untuk melacak.
b. Anak adalah seorang yang berusia kurang dari 16 tahun dan belum menikah.

Pasal 6
Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.

Penafsiran
a. Menyalahgunakan profesi adalah segala tindakan yang mengambil keuntungan pribadi  atas informasi yang diperoleh saat bertugas sebelum informasi tersebut menjadi pengetahuan umum.
b. Suap adalah segala pemberian dalam bentuk uang, benda atau fasilitas dari pihak lain yang mempengaruhi independensi.

Pasal 7
Wartawan Indonesia memiliki hak tolak untuk melindungi narasumber yang tidak bersedia diketahui identitas maupun keberadaannya, menghargai ketentuan embargo, informasi latar belakang, dan “off the record” sesuai dengan kesepakatan.

Penafsiran
a. Hak tolak adalak hak untuk tidak mengungkapkan identitas dan keberadaan narasumber demi keamanan narasumber dan keluarganya.
b. Embargo adalah penundaan pemuatan atau penyiaran berita sesuai dengan permintaan narasumber.
c. Informasi latar belakang adalah segala informasi atau data dari narasumber yang disiarkan atau diberitakan tanpa menyebutkan narasumbernya.
d. “Off the record” adalah segala informasi atau data dari narasumber yang tidak boleh disiarkan atau diberitakan.

Pasal 8
Wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani.

Penafsiran
a. Prasangka adalah anggapan yang kurang baik mengenai sesuatu sebelum mengetahui secara jelas.
b. Diskriminasi adalah pembedaan perlakuan.

Pasal 9
Wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik.

Penafsiran
a. Menghormati hak narasumber adalah sikap menahan diri dan berhati-hati.
b. Kehidupan pribadi adalah segala segi kehidupan seseorang dan keluarganya selain yang terkait dengan kepentingan publik.

Pasal 10
Wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa.

Penafsiran
a. Segera berarti tindakan dalam waktu secepat mungkin, baik karena ada maupun tidak ada teguran dari pihak luar.
b. Permintaan maaf disampaikan apabila kesalahan terkait dengan substansi pokok.

Pasal 11
Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan hak koreksi secara proporsional.

Penafsiran
a. Hak jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.
b. Hak koreksi adalah hak setiap orang untuk membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain.
c. Proporsional berarti setara dengan bagian berita yang perlu diperbaiki.

Penilaian akhir atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan Dewan Pers.
Sanksi atas pelanggaran kode etik jurnalistik dilakukan oleh
organisasi wartawan dan atau perusahaan pers.


Jakarta, Selasa, 14 Maret 2006

(Kode Etik Jurnalistik ini ditandatangani oleh 29 organisasi pers di Jakarta, 14 Maret 2006. Dewan Pers menetapkannya melalui Surat Keputusan Nomor 03/SK-DP/III/2006 yang kemudian disahkan sebagai Peraturan Dewan Pers Nomor 6/Peraturan-DP/V/2008)

Senin, 29 Juni 2015

The Necklace


BY Guy de Maupassant 
  
She was one of those pretty and charming girls born, as though fate had blundered over her, into a family of artisans. She had no marriage portion, no expectations, no means of getting known, understood, loved, and wedded by a man of wealth and distinction; and she let herself be married off to a little clerk in the Ministry of Education. Her tastes were simple because she had never been able to afford any other, but she was as unhappy as though she had married beneath her; for women have no caste or class, their beauty, grace, and charm serving them for birth or family, their natural delicacy, their instinctive elegance, their nimbleness of wit, are their only mark of rank, and put the slum girl on a level with the highest lady in the land.  
     She suffered endlessly, feeling herself born for every delicacy and luxury. She suffered from the poorness of her house, from its mean walls, worn chairs, and ugly curtains. All these things, of which other women of her class would not even have been aware, tormented and insulted her. The sight of the little Breton girl who came to do the work in her little house aroused heart-broken regrets and hopeless dreams in her mind. She imagined silent antechambers, heavy with Oriental tapestries, lit by torches in lofty bronze sockets, with two tall footmen in knee-breeches sleeping in large arm-chairs, overcome by the heavy warmth of the stove. She imagined vast saloons hung with antique silks, exquisite pieces of furniture supporting priceless ornaments, and small, charming, perfumed rooms, created just for little parties of intimate friends, men who were famous and sought after, whose homage roused every other woman's envious longings.  
     When she sat down for dinner at the round table covered with a three-days-old cloth, opposite her husband, who took the cover off the soup-tureen, exclaiming delightedly: "Aha! Scotch broth! What could be better?" she imagined delicate meals, gleaming silver, tapestries peopling the walls with folk of a past age and strange birds in faery forests; she imagined delicate food served in marvellous dishes, murmured gallantries, listened to with an inscrutable smile as one trifled with the rosy flesh of trout or wings of asparagus chicken.  
     She had no clothes, no jewels, nothing. And these were the only things she loved; she felt that she was made for them. She had longed so eagerly to charm, to be desired, to be wildly attractive and sought after.  
     She had a rich friend, an old school friend whom she refused to visit, because she suffered so keenly when she returned home. She would weep whole days, with grief, regret, despair, and misery. 
*
One evening her husband came home with an exultant air, holding a large envelope in his hand.  
     "Here's something for you," he said.  
     Swiftly she tore the paper and drew out a printed card on which were these words:  
     "The Minister of Education and Madame Ramponneau request the pleasure of the company of Monsieur and Madame Loisel at the Ministry on the evening of Monday, January the 18th."  
     Instead of being delighted, as her husband hoped, she flung the invitation petulantly across the table, murmuring:  
     "What do you want me to do with this?"  
     "Why, darling, I thought you'd be pleased. You never go out, and this is a great occasion. I had tremendous trouble to get it. Every one wants one; it's very select, and very few go to the clerks. You'll see all the really big people there."  
     She looked at him out of furious eyes, and said impatiently: "And what do you suppose I am to wear at such an affair?"  
     He had not thought about it; he stammered:  
     "Why, the dress you go to the theatre in. It looks very nice, to me . . ."  
     He stopped, stupefied and utterly at a loss when he saw that his wife was beginning to cry. Two large tears ran slowly down from the corners of her eyes towards the corners of her mouth.  
     "What's the matter with you? What's the matter with you?" he faltered.  
     But with a violent effort she overcame her grief and replied in a calm voice, wiping her wet cheeks:  
     "Nothing. Only I haven't a dress and so I can't go to this party. Give your invitation to some friend of yours whose wife will be turned out better than I shall."  
     He was heart-broken.  
     "Look here, Mathilde," he persisted. "What would be the cost of a suitable dress, which you could use on other occasions as well, something very simple?"  
     She thought for several seconds, reckoning up prices and also wondering for how large a sum she could ask without bringing upon herself an immediate refusal and an exclamation of horror from the careful-minded clerk.  
     At last she replied with some hesitation:  
     "I don't know exactly, but I think I could do it on four hundred francs."  
     He grew slightly pale, for this was exactly the amount he had been saving for a gun, intending to get a little shooting next summer on the plain of Nanterre with some friends who went lark-shooting there on Sundays.  
     Nevertheless he said: "Very well. I'll give you four hundred francs. But try and get a really nice dress with the money."  
     The day of the party drew near, and Madame Loisel seemed sad, uneasy and anxious. Her dress was ready, however. One evening her husband said to her:  
     "What's the matter with you? You've been very odd for the last three days."  
     "I'm utterly miserable at not having any jewels, not a single stone, to wear," she replied. "I shall look absolutely no one. I would almost rather not go to the party."  
     "Wear flowers," he said. "They're very smart at this time of the year. For ten francs you could get two or three gorgeous roses."  
     She was not convinced.  
     "No . . . there's nothing so humiliating as looking poor in the middle of a lot of rich women."  
     "How stupid you are!" exclaimed her husband. "Go and see Madame Forestier and ask her to lend you some jewels. You know her quite well enough for that."  
     She uttered a cry of delight.  
     "That's true. I never thought of it."  
     Next day she went to see her friend and told her her trouble.  
     Madame Forestier went to her dressing-table, took up a large box, brought it to Madame Loisel, opened it, and said:  
     "Choose, my dear."  
     First she saw some bracelets, then a pearl necklace, then a Venetian cross in gold and gems, of exquisite workmanship. She tried the effect of the jewels before the mirror, hesitating, unable to make up her mind to leave them, to give them up. She kept on asking:  
     "Haven't you anything else?"  
     "Yes. Look for yourself. I don't know what you would like best."  
     Suddenly she discovered, in a black satin case, a superb diamond necklace; her heart began to beat covetously. Her hands trembled as she lifted it. She fastened it round her neck, upon her high dress, and remained in ecstasy at sight of herself.  
     Then, with hesitation, she asked in anguish:  
     "Could you lend me this, just this alone?"  
     "Yes, of course."  
     She flung herself on her friend's breast, embraced her frenziedly, and went away with her treasure. The day of the party arrived. Madame Loisel was a success. She was the prettiest woman present, elegant, graceful, smiling, and quite above herself with happiness. All the men stared at her, inquired her name, and asked to be introduced to her. All the Under-Secretaries of State were eager to waltz with her. The Minister noticed her.  
     She danced madly, ecstatically, drunk with pleasure, with no thought for anything, in the triumph of her beauty, in the pride of her success, in a cloud of happiness made up of this universal homage and admiration, of the desires she had aroused, of the completeness of a victory so dear to her feminine heart.  
     She left about four o'clock in the morning. Since midnight her husband had been dozing in a deserted little room, in company with three other men whose wives were having a good time. He threw over her shoulders the garments he had brought for them to go home in, modest everyday clothes, whose poverty clashed with the beauty of the ball- dress. She was conscious of this and was anxious to hurry away, so that she should not be noticed by the other women putting on their costly furs.  
     Loisel restrained her.  
     "Wait a little. You'll catch cold in the open. I'm going to fetch a cab."  
     But she did not listen to him and rapidly descended the staircase. When they were out in the street they could not find a cab; they began to look for one, shouting at the drivers whom they saw passing in the distance.  
     They walked down towards the Seine, desperate and shivering. At last they found on the quay one of those old nightprowling carriages which are only to be seen in Paris after dark, as though they were ashamed of their shabbiness in the daylight.  
     It brought them to their door in the Rue des Martyrs, and sadly they walked up to their own apartment. It was the end, for her. As for him, he was thinking that he must be at the office at ten.  
     She took off the garments in which she had wrapped her shoulders, so as to see herself in all her glory before the mirror. But suddenly she uttered a cry. The necklace was no longer round her neck!  
     "What's the matter with you?" asked her husband, already half undressed.  
     She turned towards him in the utmost distress.  
     "I . . . I . . . I've no longer got Madame Forestier's necklace. . . ."  
     He started with astonishment.  
     "What! . . . Impossible!"  
     They searched in the folds of her dress, in the folds of the coat, in the pockets, everywhere. They could not find it.  
     "Are you sure that you still had it on when you came away from the ball?" he asked.  
     "Yes, I touched it in the hall at the Ministry."  
     "But if you had lost it in the street, we should have heard it fall."  
     "Yes. Probably we should. Did you take the number of the cab?"  
     "No. You didn't notice it, did you?"  
     "No."  
     They stared at one another, dumbfounded. At last Loisel put on his clothes again.  
     "I'll go over all the ground we walked," he said, "and see if I can't find it."  
     And he went out. She remained in her evening clothes, lacking strength to get into bed, huddled on a chair, without volition or power of thought.  
     Her husband returned about seven. He had found nothing.  
     He went to the police station, to the newspapers, to offer a reward, to the cab companies, everywhere that a ray of hope impelled him.  
     She waited all day long, in the same state of bewilderment at this fearful catastrophe.  
     Loisel came home at night, his face lined and pale; he had discovered nothing.  
     "You must write to your friend," he said, "and tell her that you've broken the clasp of her necklace and are getting it mended. That will give us time to look about us."  
     She wrote at his dictation. 
*
     By the end of a week they had lost all hope.             Loisel, who had aged five years, declared:             "We must see about replacing the diamonds."             Next day they took the box which had held the necklace and went to the jewellers whose name was inside. He consulted his books.             "It was not I who sold this necklace, Madame; I must have merely supplied the clasp."  
     Then they went from jeweller to jeweller, searching for another necklace like the first, consulting their memories, both ill with remorse and anguish of mind.  
     In a shop at the Palais-Royal they found a string of diamonds which seemed to them exactly like the one they were looking for. It was worth forty thousand francs. They were allowed to have it for thirty-six thousand.  
     They begged the jeweller not to sell it for three days. And they arranged matters on the understanding that it would be taken back for thirty-four thousand francs, if the first one were found before the end of February.  
     Loisel possessed eighteen thousand francs left to him by his father. He intended to borrow the rest.  
     He did borrow it, getting a thousand from one man, five hundred from another, five louis here, three louis there. He gave notes of hand, entered into ruinous agreements, did business with usurers and the whole tribe of money- lenders. He mortgaged the whole remaining years of his existence, risked his signature without even knowing if he could honour it, and, appalled at the agonising face of the future, at the black misery about to fall upon him, at the prospect of every possible physical privation and moral torture, he went to get the new necklace and put down upon the jeweller's counter thirty-six thousand francs.  
     When Madame Loisel took back the necklace to Madame Forestier, the latter said to her in a chilly voice:       "You ought to have brought it back sooner; I might have needed it."  
     She did not, as her friend had feared, open the case. If she had noticed the substitution, what would she have thought? What would she have said? Would she not have taken her for a thief? 
*
Madame Loisel came to know the ghastly life of abject poverty. From the very first she played her part heroically. This fearful debt must be paid off. She would pay it. The servant was dismissed. They changed their flat; they took a garret under the roof.   
     She came to know the heavy work of the house, the hateful duties of the kitchen. She washed the plates, wearing out her pink nails on the coarse pottery and the bottoms of pans. She washed the dirty linen, the shirts and dish- cloths, and hung them out to dry on a string; every morning she took the dustbin down into the street and carried up the water, stopping on each landing to get her breath. And, clad like a poor woman, she went to the fruiterer, to the grocer, to the butcher, a basket on her arm, haggling, insulted, fighting for every wretched halfpenny of her money.           Every month notes had to be paid off, others renewed, time gained.  
     Her husband worked in the evenings at putting straight a merchant's accounts, and often at night he did copying at twopence-halfpenny a page.  
     And this life lasted ten years.  
     At the end of ten years everything was paid off, everything, the usurer's charges and the accumulation of superimposed interest.  
     Madame Loisel looked old now. She had become like all the other strong, hard, coarse women of poor households. Her hair was badly done, her skirts were awry, her hands were red. She spoke in a shrill voice, and the water slopped all over the floor when she scrubbed it. But sometimes, when her husband was at the office, she sat down by the window and thought of that evening long ago, of the ball at which she had been so beautiful and so much admired.        What would have happened if she had never lost those jewels. Who knows? Who knows? How strange life is, how fickle! How little is needed to ruin or to save!  
     One Sunday, as she had gone for a walk along the Champs-Elysees to freshen herself after the labours of the week, she caught sight suddenly of a woman who was taking a child out for a walk. It was Madame Forestier, still young, still beautiful, still attractive.  
     Madame Loisel was conscious of some emotion. Should she speak to her? Yes, certainly. And now that she had paid, she would tell her all. Why not?  
     She went up to her.  "Good morning, Jeanne."  
     The other did not recognise her, and was surprised at being thus familiarly addressed by a poor woman.  "But . . . Madame . . ." she stammered. "I don't know . . . you must be making a mistake."  
     "No . . . I am Mathilde Loisel."  
     Her friend uttered a cry.  "Oh! . . . my poor Mathilde, how you have changed! . . ."  
     "Yes, I've had some hard times since I saw you last; and many sorrows . . . and all on your account."  
     "On my account! . . . How was that?"  
     "You remember the diamond necklace you lent me for the ball at the Ministry?"  
     "Yes. Well?"  
     "Well, I lost it."  
     "How could you? Why, you brought it back."  
     "I brought you another one just like it. And for the last ten years we have been paying for it. You realise it wasn't easy for us; we had no money. . . . Well, it's paid for at last, and I'm glad indeed."  
     Madame Forestier had halted.  "You say you bought a diamond necklace to replace mine?"  
     "Yes. You hadn't noticed it? They were very much alike." And she smiled in proud and innocent happiness.  

     Madame Forestier, deeply moved, took her two hands.   "Oh, my poor Mathilde! But mine was imitation. It was worth at the very most five hundred francs! . . . "

The Necklace [Kalung Berlian]

Oleh Guy de Maupassant 


Mathilde adalah salah satu dari wanita cantik jelita yang terkadang, seolah karena adanya kesalahan takdir, dilahirkan dalam keluarga pegawai kantoran. Dia tidak memiliki mahar, tidak memiliki harapan, tidak memiliki jalan agar dapat dikenal, dimengerti, dicintai, dan dinikahi oleh pria kaya dan terhormat; dan alih-alih dia membiarkan dirinya dinikahi oleh seorang pegawai yang bekerja di Kementrian Instruksi Publik.

Dia berpakaian sederhana karena dia tidak dapat berpakaian dengan baik, tapi dia merasa tidak bahagia seolah dia telah terpuruk dari tempat di mana dia seharusnya berada; karena bagi wanita tidak ada yang namanya kasta ataupun tingkatan; dan kecantikan, keanggunan, dan pesona-lah yang berpengaruh, bukan keluarga. Kecantikan alami, insting untuk bersikap elegan, keluwesan akal, adalah satu-satunya hierarki, dan juga yang membuat wanita biasa menjadi setara dengan wanita hebat lainnya.


Dia tak henti-hentinya menderita, merasa dirinya dilahirkan untuk menikmati semua jenis kemewahan. Dia menderita akan kemiskinan tempat tinggalnya, dinding rumahnya yang terlihat melarat, kursinya yang telah usang, dan gordennya yang sangat jelek. Semua hal itu, yang tidak akan pernah disadari oleh wanita lain setingkatnya, terasa menyiksa dan membuatnya kesal. Pemandangan orang Breton bertubuh kecil yang melakukan semua tugas rumah untuknya menggelitik rasa sesalnya sampai putus asa dan selalu mengganggu mimpinya. Dia membayangkan ruang depan yang sunyi, dihiasi oleh permadani Oriental yang tergantung di dinding, diterangi oleh kandil lilin yang terbuat dari perak, ada juga tempat untuk dua pelayan dengan celana panjang selutut yang tertidur di kursi besar untuk menyambut tamu, dibuat mengantuk oleh udara hangat dari alat pemanas. Khayalannya lalu melayang ke ruang tamu yang dihiasi kain sutra, furnitur indah yang dapat membuat orang terpana, dan boudoir[1] yang beraroma centil untuk berbincang setiap jam lima sore dengan teman dekatnya dan dengan orang-orang terkenal, yang membuat semua wanita iri kepadanya.

Ketika dia duduk untuk makan malam di depan meja bundar yang ditutupi dengan taplak meja yang tidak dibersihkan selama tiga hari, di hadapan suaminya yang membuka semangkuk sup dan mengatakan dengan ekspresi terpesona, “Ah, pot-au feu[2] yang lezat! Aku tidak tahu apa lagi yang lebih enak daripada ini,” dia membayangkan makan malam yang lezat, dengan peralatan makan perak, dengan permadani hias yang menggantung di dinding ruangan menggambarkan tokoh-tokoh kuno dan burung-burung berterbangan di tengah-tengah hutan dalam dongeng; dan kemudian dia mengkhayalkan sajian lezat yang dihidangkan dengan piring cantik, dan bisikan santun yang selalu kalian dengarkan dengan senyum seperti patung spinx sementara kalian memakan daging ikan trout atau sayap burung puyuh.

Dia tidak memiliki gaun dan perhiasan, sementara dia tidak menyukai apapun selain itu; dia merasa dilahirkan untuk menikmati semuanya.

Dia sangat ingin disenangi, membuat orang iri padanya, tampil mempesona, dan dikenal.

Dia pernah memiliki seorang teman dari sekolah biarawatinya dulu, dia kaya dan dia tidak suka dengannya sehingga memutuskan untuk tidak menemuinya lagi karena dia merasa sangat merana.

Namun pada suatu malam, suaminya pulang ke rumah dengan ekspresi riang gembira sambil memegang amplop besar di tangannya.

“Ini,” sahutnya, “ini sesuatu untukmu.”

Istrinya langsung merobek kertasnya dan menarik sebuah kartu undangan yang bertuliskan:

“Kementrian Instruksi Publik dan Mme. Georges Ramponneau dengan hormat mengundang M. dan Mme[3]. Loisel untuk dapat hadir di istana Kementrian pada Senin malam, tanggal 18 Januari.”

Alih-alih menjadi gembira, seperti yang telah diharapkan suaminya, dia melemparkan surat undangan tersebut di atas meja dengan expresi meremehkan lalu bergumam:

“Apa yang kau ingin aku lakukan dengan itu?”

“Sayang, kupikir kau akan senang. Kau tidak pernah pergi ke luar, dan ini adalah kesempatan yang bagus. Aku sudah bersusah payah untuk mendapatkan undangan itu. Semua orang ingin pergi ke sana sementara hanya orang-orang terpilih saja yang diundang, dan mereka tidak banyak mengundang pegawai biasa. Semua pegawai tingkat atas akan datang ke sana.”

Dia melihat suaminya dengan pandangan jengkel, kemudian dia, dengan nada tidak sabaran, bertanya kepadanya:

“Dan gaun apa yang kau ingin aku kenakan?”

Dia tampak jelas belum memikirkannya, lalu dengan gagap menjawab:

“Tentu saja dengan gaun yang kau kenakan saat kita pergi ke teater. Gaun itu terlihat cantik bagiku.”

Dia berhenti berbicara karena terusik melihat istrinya menangis. Deras air mata membanjir turun dengan perlahan dari kedua matanya menuju sudut bibirnya. Dengan gelagapan dia bertanya:

“Kenapa? Ada apa?”

Namun, dengan usaha keras, istrinya berhasil menakhlukkan kesedihannya, kemudian dia menjawab, dengan suara yang tenang, sementara dia menyapu pipinya yang basah:

“Tidak ada apa-apa. Hanya saja aku tidak memiliki gaun, dan karena itulah aku tidak dapat pergi ke pesta ini. Berikanlah undangan ini kepada teman kerjamu yang istrinya memiliki gaun yang cantik.”

Suaminya putus asa. Dia lanjut berkata:

“Ayolah Mathilde. Berapa harga gaun yang cocok untuk dapat dikenakan di kesempatan lainnya, yang juga terlihat sederhana?”

Dia bergeming selama beberapa detik, menghitung dan penasaran kira-kira berapa jumlah yang dapat dimintanya tanpa mengundang penolakan seketika dan keterkejutan dari pegawai kantoran sederhana.

Akhirnya dengan ragu-ragu dia menjawab:

“Aku tidak tahu berapa tepatnya, tapi kurasa aku bisa mendapatkannya dengan empat ratus franc[4].”

Wajah suaminya menjadi pucat karena dia telah menabung uang sebanyak itu agar nantinya dapat digunakannya untuk membeli senapan dan memanjakan dirinya dengan berburu saat musim panas mendatang di daerah Nanterre bersama temannya yang pernah berburu di sana setiap hari Minggu.

Tapi dia berkata:

“Baiklah. Aku akan memberimu empat ratus Franc. Dan carilah gaun yang cantik.”

Hari yang ditunggu semakin dekat, dan Mme. Loisel terlihat sedih, gelisah, dan cemas. Walau bagaimanapun gaunnya telah siap. Pada suatu malam suaminya bertanya kepadanya:

“Ada apa? Ayolah, kau sudah bertingkah aneh tiga hari terakhir ini.”

Kemudian dia menjawab:

“Aku kesal karena tidak memiliki perhiasan apapun, tidak ada satupun batu permata yang kumiliki, tidak ada yang dapat kukenakan.  Aku pasti akan terlihat seperti orang yang hidup sengsara. Mungkin lebih baik aku tidak datang sama sekali.”

Dia membalas:

“Kau bisa mengenakan bunga alami. Sekarang hal itu terlihat anggun. Dengan sepuluh franc kau bisa mendapatkan dua atau tiga mawar yang indah.”

Itu tidak cukup menyenangkan baginya.

“Tidak. Tidak ada lagi yang lebih memalukan daripada terlihat miskin di antara para wanita kaya.”

Namun suaminya berteriak:

“Bodoh sekali dirimu! Temui temanmu Mme. Forestier dan tanyakan padanya apakah kau bisa meminjam perhiasan darinya. Bukankah kau cukup dekat dengannya.”

Dia pun berteriak gembira:

“Benar juga. Aku tidak terpikir hal itu.” Keesokan harinya dia pergi menemui temannya dan menceritakan kesengsaraannya.

Mme. Forestier pergi menuju lemari pakaiannya yang memiliki pintu kaca, mengambil sebuah kotak perhiasan besar, membawanya kembali, membukanya, lalu berkata kepada Mme. Loisel:

“Pilihlah, sayang.”

Pertama-tama dia melirik beberapa gelang, kemudian kalung mutiara, kemudian salib Venetia, emas dan batu berharga lainnya yang dibuat dengan sangat indah. Dia mencoba beberapa perhiasan di depan kaca, ragu-ragu, tidak sanggup untuk berpisah dengannya, untuk mengembalikannya lagi. Dia terus bertanya:

“Apa kau punya yang lain?”

“Tentu saja ada. Lihatlah. Aku tidak tahu apa yang kau suka.”

Tiba-tiba dia menemukan, dalam kotak satin hitam, sebuah kalung berlian yang sangat indah; kemudian jantungnya mulai berdetak dengan keinginan yang menggebu-gebu. Tangannya bergetar hebat saat dia mengambilnya. Dia mengenakannya di lehernya, di luar gaunnya yang berleher tinggi, dan terhanyut dalam kegembiraan hanya dari melihat penampilannya.

Kemudian dengan ragu-ragu dia bertanya:

“Bolehkah aku meminjam ini, hanya ini saja?”

“Tentu saja bisa.”

Dengan girangnya dia memeluk leher temannya, menciumnya dengan sangat girang, kemudian pergi membawa harta karunnya.

Hari pesta itu pun tiba. Mme. Loisel sukses besar. Dia terlihat lebih cantik daripada mereka semua, elegan, anggun, tersenyum, dan gembira bukan kepalang. Semua mata lelaki menuju padanya, menanyakan namanya, berusaha berkenalan dengannya. Semua jajaran Kabinet ingin berdansa dengannya. Dia bahkan disanjung oleh sang menteri itu sendiri.

Dia menari dengan mabuk kepayang, sangat bersemangat, dibuat mabuk oleh kenikmatan, melupakan segala hal, dalam riuh kemenangan kecantikannya, dalam kesuksesannya, dalam semua jenis awan kegembiraan yang terbentuk dari semua yang hadir di sana, dari semua kekaguman, dari semua kedengkian, dan dari rasa kemenangan penuh yang terasa sangat manis bagi hati wanita.

Dia beranjak pergi jam empat pagi. Suaminya telah tertidur sejak tengah malam di ruang depan kecil dengan tiga pria lain yang istrinya sedang bersenang-senang.

Suaminya memakaikannya mantel hangat yang telah dibawanya, mantel sederhana yang mencerminkan hidup orang biasa, yang cerminan kemiskinannya tampak kontras dengan keangunan gaun pestanya. Istrinya menyadari hal ini dan ingin segera berlari agar tidak dikomentari oleh wanita lain yang membungkus diri mereka dengan mantel bulu yang mahal.

Namun Loisel menahannya.

“Tunggu sebentar. Kau akan kedinginan di luar. Aku akan mencarikan kita tumpangan.”

Tapi dia tidak mendengarkan suaminya, dan dengan cepat berlari menuruni tangga. Ketika mereka tiba di jalan, mereka tidak dapat menemukan kereta kuda; dan mereka mulai mencari, berteriak kepada kusir yang mereka lihat sedang melintas di kejauhan.

Mereka berjalan menuju Seine, dengan putus asa, gemetar karena kedinginan. Akhirnya mereka menemukan satu kereta kuda malam yang seolah tampak malu menunjukkan penderitannya di siang hari sehingga tidak pernah tampak terlihat di sekitar Paris sampai malam hari.

Kereta itu membawa mereka sampai ke rumah mereka di Rue des Martyrs, dan sekali lagi, malangnya, mereka harus mendaki agar dapat sampai ke rumah mereka. Semua telah berakhir baginya. Sementara bagi suaminya, dia teringat bahwa dia harus tiba di kantor besok jam sepuluh pagi.

Dia melepaskan mantelnya yang menutupi pundaknya di depan pintu kaca agar dapat sekali lagi melihat dirinya dalam kemenangan. Namun kemudian dia berteriak. Kalung tersebut tidak ada di lehernya!

Suaminya yang sudah melepaskan setengah pakaiannya, bertanya:

“Ada apa denganmu?”

Dia menoleh dengan liar ke arah suaminya.

“Aku telah… aku telah… aku telah kehilangan kalung milik Mme. Forestier.”

Suaminya segera berdiri.

“Apa! Bagaimana bisa? Tidak mugkin!”

Dan mereka mulai mencari di lipatan gaunnya, di lipatan mantelnya, di dalam sakunya, di manapun.

Mereka tidak dapat menemukannya. Suaminya bertanya:

“Kau yakin kau masih mengenakannya saat meninggalkan pesta?”

“Iya, aku masih dapat merasakannya di ruang depan Istana.”

“Tapi kalau kau menghilangkannya di jalan, kita pasti sudah mendengarnya jatuh. Pasti tertinggal di kereta.”

“Iya. Mungkin. Apa kau ingat nomornya?”

“Tidak. Dan kau, apa kau tidak melihatnya?”

“Tidak.”

Mereka saling bertatapan, termangu menghadap satu sama lain. Kemudian Loisel mengenakan pakaiannya.

“Aku harus kembali dengan berjalan kaki,” ujarnya, “menelusuri kembali jalan yang telah kita lewati tadi untuk mencarinya.”

Suaminya pun pergi. Dia duduk menunggu di kursi, masih mengenakan gaun pestanya, tanpa tenaga untuk pergi tidur, kebingungan, tanpa semangat, tanpa pikiran.

Suaminya kembali jam tujuh pagi. Dia tidak menemukan apa-apa.

Suaminya kemudian pergi ke kantor polisi, ke kantor surat kabar, untuk menawarkan imbalan bagi yang menemukannya; dia pergi ke perusahaan angkutan—ke manapun, sebenarnya, ke mana saja yang dapat memberikannya harapan walau hanya secuil.

Dia menunggu sepanjang hari, dengan kondisi yang masih sama; ketakutan yang menjadi-jadi akan bencana besar ini.

Loisel kembali pada malam hari dengan wajah pucat dan hampa; dia tidak menemukan apapun.

“Kau harus menulis surat kepada temanmu,” sarannya, “katakan padanya kalau kau merusak pengait kalungnya dan saat ini sedang diperbaiki. Itu akan mengulur waktu untuk kita.”

Dia menulis sesuai perintah suaminya.

Satu minggu kemudian mereka telah kehilangan harapan.

Dan Loisel yang telah tampak semakin menua berujar:

“Kita mungkin harus mengganti perhiasan itu.”

Keesokan harinya mereka membawa kotak penyimpan kalungnya, dan mereka pergi menemui pembuat perhiasan yang namanya tercantum di dalamnya. Dia melihat buku catatannya agar dapat mengingatnya kembali.

“Bukan saya yang menjual perhiasan itu, Madame; saya hanya sekedar menghias kotaknya.”

Mereka mencari dari satu pengrajin ke pengrajin yang lain, mencari kalung yang sama, meminta mereka untuk mengingat-ingatnya, hal ini membuat mereka muak akan kekecawaan dan penderitaan.

Mereka menemukan sebuah toko di Palais Royal, serangkaian berlian yang terlihat sama persis dengan yang sedang dicari mereka. Harganya empat puluh ribu franc. Namun mereka dapat memilikinya hanya dengan tiga puluh enam ribu franc.

Kemudian mereka memohon kepada pembuat perhiasan tersebut agar tidak menjualnya selama tiga hari ke depan. Dan mereka pun membuat penawaran bahwa dia harus membelinya kembali dengan harga tiga puluh empat ribu franc jikalau mereka menemukan kalung yang hilang tersebut sebelum akhir Februari.

Loisel memiliki delapan ribu franc dari peninggalan ayahnya. Dia akan meminjam sisanya.

Dia memang jadi meminjam uang, seribu franc dari seseorang, lima ratus dari yang lain, lima louis di sini, tiga louis di sana. Dia mengeluarkan wesel, berhutang banyak, berurusan dengan rentenir, dan semua jenis pemberi pinjaman. Dia membahayakan sisa hidupnya dan tanda tangannya tanpa mengetahui apakah dia dapat memenuhi itu semua; dan ketakutan akan kepedihan yang kunjung tiba, akan penderitaan kelam yang sebentar lagi menimpanya, akan kemungkinan hidup melarat dan semua siksaan moral yang akan dideritanya, dia pergi untuk membeli kalung itu dengan menaruh tiga puluh enam ribu franc di meja kasir.

Ketika Mme. Loisel mengembalikan kalungnya, Mme. Forestier berkata kepadanya dengan sikap dingin:

“Seharusnya kau segera mengembalikannya, mungkin aku membutuhkannya.”

Dia tidak membuka kotaknya sebagaimana yang ditakutinya. Kalau dia mengetahui bahwa kalungnya telah diganti, apa yang akan dipikirkannya, apa yang akan dikatakannya? Apa dia tidak akan menganggap Mme. Loisel sebagai pencuri?

Mme. Loisel tidak menyadari keparahan dari kemelaratan hidupnya. Bagaimanapun dia siap melakukan tugasnya dengan sikap kepahlawanan. Hutang mengerikan itu harus dibayar. Dia akan membayarnya. Mereka memberhentikan pelayannya; mereka pindah rumah; mereka menyewa sebuah kamar loteng.

Dia akhirnya menyadari betapa lelahnya mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan berurusan dengan urusan di dapur yang menjengkelkan. Dia mencuci piring, menggunakan kukunya yang elok bak mawar untuk membersihkan mangkuk dan panci yang berminyak tebal. Dia mencuci kain linen yang kotor, pakaian, dan kain lap makan, lalu dijemurnya dengan berjajar; dia membawa air sisa cuciannya melewati jalanan setiap pagi, dan mengangkat air bersih, berhenti sebentar-sebentar untuk bernapas di setiap undakan tangga. Dan berpakaian seperti wanita biasa, dia pergi menuju penjual buah, grosir, tukang daging dengan keranjang di lengannya, menawar, dihina, mempertahankan hidupnya sou demi sou[5].

Setiap bulan mereka harus membayar beberapa tagihan wesel, memperbaharui yang lain untuk mendapatkan waktu lebih.

Suaminya bekerja sampai malam membuat salinan akun pedagang, dan saat larut malam dia sering membuat salinan manuskrip dengan imbalan lima sou per halaman.

Dan kehidupan seperti ini berjalan selama sepuluh tahun.

Setelah sepuluh tahun, akhirnya mereka dapat melunasi semuanya, semuanya, dengan tingkat bunga yang ditetapkan oleh sang rentenir, dan akumulasi dari bunga per bulannya.

Mme. Loisel terlihat tua sekarang. Dia telah menjadi wanita melarat—kuat, keras, dan kasar. Dengan rambut berantakan, roknya miring, dan tangannya berwarna merah, dia berbicara dengan suara nyaring sambil mengepel lantai dengan desiran air yang keras. Namun terkadang, ketika suaminya di kantor, dia duduk di dekat jendela, dan dia mengingat kembali malam ceria yang telah lama berlalu, saat pesta di mana dia terlihat sangat cantik dan bahagia.

Apa yang akan terjadi jika dia tidak menghilangkan kalung itu? Siapa yang tahu? Siapa yang tahu? Betapa hidup ini sangat aneh dan selalu berubah-ubah! Betapa kecilnya hal yang dapat membuat kita tersesat atau terselamatkan!

Namun pada suatu kesempatan di hari minggu, saat sedang berjalan-jalan di Champs Elysées untuk menyegarkan dirinya setelah bekerja keras seminggu penuh, dia tiba-tiba melihat seorang wanita yang sedang menggandeng seorang anak. Dia adalah Mme. Forestier, masih terlihat muda, cantik, dan menawan.

Mme. Loisel merasa tergerak hatinya. Apakah dia akan berbicara kepadanya? Iya, tentu saja. Dan sekarang dia telah melunasi hutangnya, dia akan menceritakan yang sebanarnya kepadanya. Kenapa tidak?

Dia berjalan ke arahnya.

“Selamat siang, Jeanne.”

Wanita tersebut tercengang karena disapa dengan familiar oleh ibu rumah tangga sederhana ini, karena tidak mengenalnya sama sekali dia bertanya dengan tergagap:

“Tapi—madame!—aku tidak kenal—Anda pasti salah orang.”

“Tidak. Aku Mathilde Loisel.”

Temannya mengeluarkan teriakan kecil.

“Oh, Mathilde-ku yang malang! Kau terlihat sangat berbeda!”

“Iya, aku mengalami hari-hari yang cukup keras sejak terakhir kali kita bertemu, hari-hari yang cukup malang—dan itu karena kau!”

“Karena aku! Bagaimana bisa?”

“Apa kau masih ingat dengan kalung berlian yang kau pinjamkan kepadaku agar dapat kupakai di pesta kementerian?”

“Iya. Lalu?”

“Well, aku menghilangkannya.”

“Apa maksudmu? Kau membawanya kembali.”

“Aku membawakanmu yang sama persis dengan itu. Dan oleh karenanya kami harus membayar hutang kami selama sepuluh tahun. Kau pasti mengerti betapa sulitnya itu untuk kami, kami yang tidak memiliki apa-apa. Akhirnya semuanya berakhir, dan aku sangat senang.”

Mme. Forestier bergeming.

“Kau bilang kau membeli sebuah kalung berlian untuk mengganti milikku?”

“Iya. Jadi kau tidak pernah menyadarinya! Mereka sangat mirip.”

Kemudian temannya tersenyum dengan nada riang yang terdengar bangga dan naïf.

Mme. Forestier, dengan sangat terharu, menggenggam kedua tangan Mathilde.

“Oh, Mathilde-ku yang malang. Kalungku tentu saja hanya imitasi. paling mahal harganya lima ratus franc!”

[Selesai]



Catatan Penerjemah:
[1]      Bodouir; (berasal dari bahasa Prancis) kamar tidur atau ruang pribadi wanita.[2]     Pot-au-feu; Sup daging asal Prancis. Biasanya memakai daging sapi dan sayur-sayuran dan dimasukkan dalam mangkuk besar.[3]     M. dan Mme.; singkatan untuk Monsieur dan Madame dalam bahasa Prancis. Sama seperti Mr. dan Mrs. Dalam bahasa Inggris.[4]     Franc; mata uang Prancis.[5]     Sou; satuan uang yang pernah dipakai di Prancis. Berbentuk uang logam. Merupakan satuan terkecil dalam mata uangnya. Sama seperti sen dalam dolar.