Sabtu, 03 Januari 2015

Burung Bul-bul dan Mawar merah


"Dia berkata bahwa dia hanya akan menari denganku jika aku membawakannya bunga mawar merah" jerit Sang Pelajar belia, "tetapi dikebunku tidak ada satupun bunga mawar berwarna merah."

Dari dalam lubang di pohon ek, Burung bul-bul mendengar kesulitan Sang Pelajar dan dia memeriksa diantara daun-daun dan berfikir.

"Tidak ada bunga mawar diseluruh kebun!" jerit Sang Pelajar lagi, dan mata indahnya penuh dengan airmata.
"Ah, bagaimana kebahagiaan banyak bergantung dari hal-hal kecil. Aku sudah membaca semua tulisan orang-orang yang bijaksana, dan rahasia-rahasia filsafat telah ada dalam genggamanku, namun hanya karena kurang sekuntum bunga mawar merah hidupku menjadi berantakan."

“Akhirnya kutemukan seorang kekasih sejati,” kata Burung Bulbul.
“Malam demi malam aku telah menyanyikan tentang seorang kekasih sejati, meskipun demikian aku tidak mengenalnya, malam demi malam aku bercerita pada bintang-bintang tentang kekasih sejati, dan sekarang aku bisa melihatnya. Rambutnya sepekat bunga yacinta dan bibirnya semerah bunga mawar yang ia dambakan, namun keinginannya telah membuat wajahnya sepucat gading dan duka cita telah bertengger di keningnya.”
 “Pangeran akan menyelenggarakan pesta besok,” gumam Sang Pelajar belia, “dan cintaku akan ada di sana. Jika aku membawakannya bunga mawar merah ia akan menari denganku hingga dinihari. Jika aku membawakannya bunga mawar merah, ia akan berada dalam pelukanku, dan dia akan menyandarkan kepalanya di atas bahuku, dan aku akan menggengam tangannya. Tetapi tidak ada bunga mawar merah dalam kebunku, maka aku akan duduk dalam kesepian, dan dia akan melewati aku seolah-olah aku tidak ada, dan aku akan patah hati.”
 “Inilah seorang pecinta sejati,” kata Burung Bulbul “Setiap aku bernyanyi, ia menderita, dan setiap kegembiraanku adalah kepedihannya. Aku yakin cinta adalah hal yang indah. Cinta lebih berharga dibandingkan jamrud, dan lebih bernilai dari batu opal yang terbaik. Mutiara dan buah delima tidak bisa ditukar dengan cinta, di pasar manapun cinta tidak dapat dijual, pun tidak dapat dibeli dari pedagang, tidak dapat ditimbang ataupun ditukar dengan emas.
“Para musisi akan duduk di panggung,” kata Sang Pelajar belia, “dan memetik senar gitar mereka, lalu cintaku akan menari mengikuti irama petikan harpa dan gesekan biola. Ia akan berdansa dengan ringannya, dan bagi yang menyaksikan, seakan-akan kakinya tidak menyentuh lantai. Dan para pria-pria dengan setelan abu-abu yang sama akan berebut berdansa dengannya. Namun cintaku tak akan berdansa denganku karena aku tidak memiliki bunga mawar merah untuknya.”
Ia pun terkulai lemas di atas rumput, membenamkan wajahnya dalam kedua tangannya dan menangis.

“Mengapa ia menangis?” Tanya Kadal Hijau kecil yang berlari cepat dengan buntut mencuat ke atas dan lekas-lekas melewati pelajar tersebut.

“Iya, kenapa ya ia menangis?” Tanya si Kupu-Kupu yang mengibas-ibaskan sayapnya di bawah sinar mentari.

“Iya, kenapa ya kira-kira?” Bisik Bunga Aster pada tetangganya dengan nada yang lembut dan perlahan.

“Ia menangis karena menginginkan mawar merah,” jawab Burung Bulbul.

“Mawar merah?” Sahut mereka bersama. “Aduh, betapa menggelikannya!” Dan si Kadal Kecil yang mempunyai pembawaan sinis pun tertawa terbahak-bahak.

Namun Burung Bulbul mengerti rahasia duka Pelajar Muda, ia pun duduk diam di atas dahan pohon ek dan berpikir tentang misteri cinta. Tiba-tiba ia membentangkan sayap-sayap cokelatnya dan meluncur di udara. Ia terbang melewati taman dan seringan bayangan ia mengudara melintasi kebun.
 Di tengah bukit-bukit rumput terdapat Pohon Mawar yang cantik dan ketika Burung Bulbul melihatnya iapun segera menghampiri seraya berkata,
“Berikan aku sekuntum bunga mawar merah,” pintanya, “dan aku akan bernyanyi lagu yang paling merdu untukmu.”

Namun Pohon Mawar menggelengkan kepalanya.
“Mawarku berwarna putih,” jawabnya, “seputih buih ombak di lautan dan lebih putih dari salju di puncak Gunung Himalaya. Tetapi pergilah pada saudaraku yang tumbuh di dekat si jam matahari tua. Mungkin ia dapat memberi apa yang kau inginkan.”

Maka Burung Bulbulpun terbang menuju Pohon Mawar yang tumbuh di sekitar jam matahari tua.
“Berikan aku sekuntum bunga mawar merah,” pintanya, “dan aku akan bernyanyi lagu yang paling merdu untukmu.”

Namun Pohon Mawar menggelengkan kepalanya. “Bunga mawarku berwarna kuning,” jawabnya, “sekuning rambut perawan kerajaan Inggris yang duduk di atas tahta batu amber dan lebih kuning dari bunga narsisus yang mekar di padang rumput tepat sebelum pemotong rumput datang dengan sabit besarnya. Namun pergilah pada saudaraku yang tumbuh di bawah jendela seorang pelajar muda, dan barangkali ia akan memberimu apa yang kamu inginkan.”

Maka Burung Bulbul terbang menuju Pohon Mawar yang tumbuh di bawah jendela Pelajar Muda.
“Berikan aku sekuntum bunga mawar merah,” pintanya, “dan aku akan bernyanyi lagu yang paling merdu untukmu.”

Namun Pohon Mawar menggelengkan kepalanya. “Bunga mawarku berwarna merah,” jawabnya, “semerah kaki-kaki merpati dan lebih merah dari karang-karang yang melambai-lambai diterpa gelombang di dalam gua-laut. Tetapi musim dingin telah menghambat pembuluh darahku, es telah menjepit tunas-tunasku, dan badai telah merusak ranting-rantingku, sehingga aku tidak akan mampu menumbuhkan satupun bunga mawar tahun ini.”
“Hanya sekuntum bunga mawar merah yang kupinta,” jerit Burung Bulbul, “hanya sekuntum bunga mawar merah! Apakah tidak ada cara lain agar aku bisa mendapatkannya?”
“Ada satu cara,” jawab Pohon Mawar, “tetapi cara tersebut sangat mengerikan dan aku tidak berani meceritakannya padamu.”
“Ceritakan padaku,” jawab Burung Bulbul, “Aku tidak takut.”
“Jika kamu menginginkan sekuntum bunga mawar merah,” kata Pohon Mawar, “kamu harus membuatnya dari musik yang diterpa oleh sinar rembulan dan dialiri oleh darah dari jantungmu sendiri. Semalam suntuk kau harus bernyanyi padaku dengan duriku yang menusuk menembus jantungmu dan darahmu, yang menopang hidupmu, harus dialirkan pada pembuluh darahku, sehingga darah itu menjadi milikku.”

“Kematian adalah harga yang sangat mahal sebagai bayaran untuk sekuntum bunga mawar,” seru Sang Burung Bulbul, “karena seluruh mahluk mendambakan untuk hidup. Bayangkan betapa menyenangkannya duduk di kayu yang hijau dan untuk mengamati matahari dalam kereta emasnya dan bulan dalam kereta mutiaranya. Menikmati harumnya tanghulu, dan harumnya bunga lonceng biru yang tersembunyi dalam lembah, dan hembusan angin dari bukit yang membawa semerbak harum bunga-bunga yang tumbuh di antara semak. Namun cinta jauh lebih berharga dari kehidupan, dan apa artinya jantung seekor burung dibandingkan degup cinta seorang manusia?”
Dan Burung Bulbulpun menebarkan sayap-sayap cokelatnya dan terbang membumbung tinggi ke udara. Bayangnya menyelinap di antara semak-semak, layaknya perahu yang berlayar di atas pepohonan.
Pelajar Muda masih berbaring terdiam di atas rumput yang sama saat ia tinggalkan dan airmata masih menggenangi matanya yang indah.
“Berbahagialah,” seru Burung Bulbul, “berbahagialah karena engkau akan memperoleh bunga mawar merah yang kau dambakan. Aku akan membuatnya dari lagu cinta yang dinyanyikan di bawah sinar rembulan dan mewarnainya dengan darah yang mengalir dari jantungku sendiri. Sebagai gantinya aku memintamu untuk menjadi pecinta sejati karena cinta lebih bijaksana daripada filsafat. Walaupun filsafat itu bijak, cinta itu lebih kuat daripada kekuasaan. Walaupun kekuasaan itu kuat. Sayap-sayap cinta berwarna merah api dan tubuhnya berkobar layaknya nyala api. Bibirnya semanis madu dan nafasnya seharum rempah-rempah.”
Pelajar Muda memandangnya dari atas rumput dan mendengarkan, namun ia tidak mengerti apa yang Burung Bulbul katakan kepadanya, karena semua yang ia ketahui hanya hal-hal yang ditulis di buku. Tetapi pohon ek mengerti dan ia menjadi sedih karena ia sangat senang dengan Burung Bulbul kecil yang telah membangun sarang diatas cabangnya.
“Bernyanyilah untukku untuk yang terakhir kalinya,” bisik pohon ek, “Aku akan merasa sangat kesepian tanpamu.”
Burung Bulbulpun bernyanyi untuk pohon ek dan suaranya bergetar sedih layaknya gelembung-gelembung air yang mendidih dari dalam panci perak. Ketika ia telah selesai bernyanyi Pelajar Muda bangun, menarik buku catatan kecil dan sebatang pensil keluar dari sakunya.
“Ia mempunyai sebentuk kreasi…” kata Pelajar Muda pada dirinya seraya berjalan keluar melintasi kebun,  “yang menjadi bagian dari dirinya, tapi apakah burung itu memiliki perasaan? Kukira tidak. Bahkan pada kenyataannya, ia seperti seniman-seniman kebanyakan yang mengutamakan gaya tanpa ketulusan. Burung itu tidak akan mengorbankan dirinya untuk mahluk lainnya. Yang ia pentingkan hanya musik dan semua orang tahu bahwa seni itu egois. Meski demikian, harus diakui bahwa ia memiliki nada-nada yang indah ketika bernyanyi. Sayang sekali bahwa nada-nada tersebut tidak memiliki arti dan tidak berguna.”
Pelajar Muda pun masuk kedalam kamarnya, berbaring di atas ranjang lipatnya yang kecil dan mulai berpikir tentang cintanya lalu setelah beberapa waktu, iapun tertidur.
Dan ketika cahaya bulan mulai berpendar di langit Burung Bulbul terbang menghampiri Pohon Mawar dan menekankan dadanya pada duri pohon. Semalam suntuk ia menyanyi dan menghujamkan dadanya pada duri, bulan yang serupa kristal dingin pun mulai merunduk dan mendengarkan. Semalam suntuk ia bernyanyi dan duri pohonpun mulai menusuk dalam dan lebih dalam lagi menembus dadanya sehingga darah nadi kehidupannya mulai mengalir surut menjauhinya.
Ia membuka nyanyiannya dengan membawakan lagu tentang kelahiran cinta di hati seorang anak lelaki dan anak perempuan. Dan pada tunas pohon bunga mawar muncullah kuntum bunga yang menakjubkan diikuti helai demi helai yang tumbuh seiring lagu demi lagu dinyanyikan. Pucat pada awalnya, sepucat kabut yang menggantung di sungai– pucat, sepucat kaki-kaki pagi hari dan seperak sayap-sayap subuh. Laksana bayangan mawar di permukaan kaca, laksana bayangan mawar di permukaan telaga, begitulah bentuk mula dari bunga yang tumbuh pada tunas pohon tersebut.

Namun Pohon Mawar berteriak memohon pada Burung Bulbul untuk terus menghujamkan dadanya.

 “Terus tekan dadamu, hai burung kecil,” jerit Pohon Mawar, “atau hari akan datang sebelum bunga mawar selesai.”
Maka Burung Bulbul kecilpun menekankan dadanya lebih dalam lagi menghujam duri dan nyanyiannya menjadi semakin nyaring, ia bernyanyi tentang lahirnya nafsu di jiwa seorang lelaki dan pelayan wanitanya. Dan semburat merah muda muncul pada helai bunga mawar, seperti semu kemerahan di pipi mempelai pria saat ia mencium bibir mempelai wanita. Namun sang duri belum juga mencapai jantungnya, sehingga jantung bunga mawar tetap putih, karena hanya darah langsung dari jantung Burung Bulbul-lah yang mampu memerahkan jantung bunga mawar.

Dan Pohon Mawar berteriak memohon pada Burung Bulbul untuk terus menghujamkan dadanya

“Terus tekan dadamu, hai burung kecil,” jerit sang pohon, “atau hari akan datang sebelum bunga mawar selesai.”

Sang Burung Bulbul pun menghujamkan dadanya lebih dalam lagi sehingga duri menusuk lebih dalam dan menyentuh jantungnya, dan tiba-tiba sakit yang amat sangat menyengat keseluruh tubuhnya. Pahit dan semakin pahit sakitnya, dan semakin gelap lagu yang ia nyanyikan, karena ia menyanyikan cinta yang disempurnakan oleh kematian, tentang cinta yang tidak mati dalam batu nisan. Dan bunga mawar yang indah itu memerah, semerah mawar dari langit timur. Merah darah melekat di helai bunganya dan merah delima warna jantung bunganya.
Namun suara Burung Bulbul menjadi semakin lemah dan sayap-sayap kecilnya mulai berkepak-kepak, dan selaput matanya mulai menutup. Lemah dan semakin lemah bunyi lagunya dan ia merasa sesuatu mencekik dan menyumbat kerongkongannya. Lalu ia menyanyikan semburat lagu terakhirnya. Sang rembulan yang putih mendengarnya dan ia diam di langit, melupakan matahari yang harus terbit. Sang bunga mawar mendengarnya dan bunga pun menggigil, bergetar penuh kenikmatan dan membuka helai-helai kelopak bunganya pada dinginnya dini hari. Nyanyian Burung Bulbul dibawa gema ke dalam relung-relung gua yang pekat di atas bukit dan membangunkan gembala-gembala dari mimpi mereka. Nyanyian Burung Bulbul melayang melalui alang-alang di tepi sungai dan mereka membawa pesannya jauh ke laut.
“Lihat, lihatlah!” Seru Pohon Mawar. “Bunga mawarnya telah mekar dengan sempurna.”

 Tetapi Burung Bulbul tidak menjawab, karena ia telah terbaring mati di antara rerumputan yang tumbuh tinggi dengan duri tertancap di jantungnya.
Pada siang hari saat Pelajar Muda membuka jendelanya dan melihat keluar.

“Oh, betapa beruntungnya saya!” serunya, “sekuntum bunga mawar merah! Seumur hidup aku tak pernah melihat mawar seindah ini. Bunga mawar ini begitu cantik, aku yakin ia memiliki nama latin yang panjang.”

 Ia pun merunduk dan memetik bunga mawar tersebut. Lalu ia kenakan topinya, dan berlari menuju rumah Sang Profesor dengan sekuntum bunga mawar di tangannya.

Putri sang profesor sedang duduk di depan pintu membalik-balik sehelai sutra biru dari gulungannya, sementara anjing kecilnya berbaring di atas kakinya.

“Engkau berkata bahwa kau akan berdansa denganku apabila aku membawakanmu sekuntum mawar merah,” seru Pelajar Muda. “Ini sekuntum mawar yang paling merah yang pernah ada di muka bumi. Kau dapat menyematkannya di dekat hatimu dan saat kita berdansa bersama, mawar ini akan menyatakan betapa aku mencintaimu.”

Tetapi putri profesor mengernyitkan keningnya.

“Maaf, tetapi warna mawar itu tidak cocok dengan warna baju yang akan kukenakan,” jawabnya, “lagipula, keponakan Anggota Dewan Kota telah memberiku perhiasan yang mahal dan jauh lebih berharga daripada sekuntum bunga.”

“Oh, kau sungguh seseorang yang tak tahu berterimakasih.” Seru Pelajar Muda dengan marah dan ia melempar bunga mawar tersebut ke jalan, bunga mawar jatuh bergulir masuk ke dalam kumbangan di jalan dan digilas oleh kereta kuda yang lewat.

“Tidak tahu terimakasih?” seru putri sang profesor, “Dengarkan ya, menurutku perilakumu itu tidak pantas, lagipula, kau pikir kau itu siapa? Hanya seorang pelajar. Lihatlah, apakah kau memiliki sabuk perak di sepatumu seperti yang dikenakan keponakan Anggota Dewan Kota? Kukira tidak.”
Dan ia pun berdiri meninggalkan kursinya lalu masuk ke dalam rumah.

“Ah, betapa konyolnya cinta itu.” Kata Pelajar Muda saat ia melangkah pergi. “Cinta itu tidak sepraktis logika karena ia tidak bisa membuktikan apapun. Dan cinta itu selalu berkata hal-hal yang tidak akan terjadi dan membuat orang percaya akan hal-hal yang tidak benar. Pada kenyataannya, cinta itu sangat tidak praktis, padahal semua orang tahu, di jaman sekarang kepraktisan itu adalah segalanya. Aku akan kembali pada filsafat dan mempelajari metafisika.”
Maka ia kembali masuk ke dalam kamarnya, mengambil sebuah buku besar penuh debu dari lemari bukunya dan mulai membaca.
*