Senin, 29 Juni 2015

The Necklace [Kalung Berlian]

Oleh Guy de Maupassant 


Mathilde adalah salah satu dari wanita cantik jelita yang terkadang, seolah karena adanya kesalahan takdir, dilahirkan dalam keluarga pegawai kantoran. Dia tidak memiliki mahar, tidak memiliki harapan, tidak memiliki jalan agar dapat dikenal, dimengerti, dicintai, dan dinikahi oleh pria kaya dan terhormat; dan alih-alih dia membiarkan dirinya dinikahi oleh seorang pegawai yang bekerja di Kementrian Instruksi Publik.

Dia berpakaian sederhana karena dia tidak dapat berpakaian dengan baik, tapi dia merasa tidak bahagia seolah dia telah terpuruk dari tempat di mana dia seharusnya berada; karena bagi wanita tidak ada yang namanya kasta ataupun tingkatan; dan kecantikan, keanggunan, dan pesona-lah yang berpengaruh, bukan keluarga. Kecantikan alami, insting untuk bersikap elegan, keluwesan akal, adalah satu-satunya hierarki, dan juga yang membuat wanita biasa menjadi setara dengan wanita hebat lainnya.


Dia tak henti-hentinya menderita, merasa dirinya dilahirkan untuk menikmati semua jenis kemewahan. Dia menderita akan kemiskinan tempat tinggalnya, dinding rumahnya yang terlihat melarat, kursinya yang telah usang, dan gordennya yang sangat jelek. Semua hal itu, yang tidak akan pernah disadari oleh wanita lain setingkatnya, terasa menyiksa dan membuatnya kesal. Pemandangan orang Breton bertubuh kecil yang melakukan semua tugas rumah untuknya menggelitik rasa sesalnya sampai putus asa dan selalu mengganggu mimpinya. Dia membayangkan ruang depan yang sunyi, dihiasi oleh permadani Oriental yang tergantung di dinding, diterangi oleh kandil lilin yang terbuat dari perak, ada juga tempat untuk dua pelayan dengan celana panjang selutut yang tertidur di kursi besar untuk menyambut tamu, dibuat mengantuk oleh udara hangat dari alat pemanas. Khayalannya lalu melayang ke ruang tamu yang dihiasi kain sutra, furnitur indah yang dapat membuat orang terpana, dan boudoir[1] yang beraroma centil untuk berbincang setiap jam lima sore dengan teman dekatnya dan dengan orang-orang terkenal, yang membuat semua wanita iri kepadanya.

Ketika dia duduk untuk makan malam di depan meja bundar yang ditutupi dengan taplak meja yang tidak dibersihkan selama tiga hari, di hadapan suaminya yang membuka semangkuk sup dan mengatakan dengan ekspresi terpesona, “Ah, pot-au feu[2] yang lezat! Aku tidak tahu apa lagi yang lebih enak daripada ini,” dia membayangkan makan malam yang lezat, dengan peralatan makan perak, dengan permadani hias yang menggantung di dinding ruangan menggambarkan tokoh-tokoh kuno dan burung-burung berterbangan di tengah-tengah hutan dalam dongeng; dan kemudian dia mengkhayalkan sajian lezat yang dihidangkan dengan piring cantik, dan bisikan santun yang selalu kalian dengarkan dengan senyum seperti patung spinx sementara kalian memakan daging ikan trout atau sayap burung puyuh.

Dia tidak memiliki gaun dan perhiasan, sementara dia tidak menyukai apapun selain itu; dia merasa dilahirkan untuk menikmati semuanya.

Dia sangat ingin disenangi, membuat orang iri padanya, tampil mempesona, dan dikenal.

Dia pernah memiliki seorang teman dari sekolah biarawatinya dulu, dia kaya dan dia tidak suka dengannya sehingga memutuskan untuk tidak menemuinya lagi karena dia merasa sangat merana.

Namun pada suatu malam, suaminya pulang ke rumah dengan ekspresi riang gembira sambil memegang amplop besar di tangannya.

“Ini,” sahutnya, “ini sesuatu untukmu.”

Istrinya langsung merobek kertasnya dan menarik sebuah kartu undangan yang bertuliskan:

“Kementrian Instruksi Publik dan Mme. Georges Ramponneau dengan hormat mengundang M. dan Mme[3]. Loisel untuk dapat hadir di istana Kementrian pada Senin malam, tanggal 18 Januari.”

Alih-alih menjadi gembira, seperti yang telah diharapkan suaminya, dia melemparkan surat undangan tersebut di atas meja dengan expresi meremehkan lalu bergumam:

“Apa yang kau ingin aku lakukan dengan itu?”

“Sayang, kupikir kau akan senang. Kau tidak pernah pergi ke luar, dan ini adalah kesempatan yang bagus. Aku sudah bersusah payah untuk mendapatkan undangan itu. Semua orang ingin pergi ke sana sementara hanya orang-orang terpilih saja yang diundang, dan mereka tidak banyak mengundang pegawai biasa. Semua pegawai tingkat atas akan datang ke sana.”

Dia melihat suaminya dengan pandangan jengkel, kemudian dia, dengan nada tidak sabaran, bertanya kepadanya:

“Dan gaun apa yang kau ingin aku kenakan?”

Dia tampak jelas belum memikirkannya, lalu dengan gagap menjawab:

“Tentu saja dengan gaun yang kau kenakan saat kita pergi ke teater. Gaun itu terlihat cantik bagiku.”

Dia berhenti berbicara karena terusik melihat istrinya menangis. Deras air mata membanjir turun dengan perlahan dari kedua matanya menuju sudut bibirnya. Dengan gelagapan dia bertanya:

“Kenapa? Ada apa?”

Namun, dengan usaha keras, istrinya berhasil menakhlukkan kesedihannya, kemudian dia menjawab, dengan suara yang tenang, sementara dia menyapu pipinya yang basah:

“Tidak ada apa-apa. Hanya saja aku tidak memiliki gaun, dan karena itulah aku tidak dapat pergi ke pesta ini. Berikanlah undangan ini kepada teman kerjamu yang istrinya memiliki gaun yang cantik.”

Suaminya putus asa. Dia lanjut berkata:

“Ayolah Mathilde. Berapa harga gaun yang cocok untuk dapat dikenakan di kesempatan lainnya, yang juga terlihat sederhana?”

Dia bergeming selama beberapa detik, menghitung dan penasaran kira-kira berapa jumlah yang dapat dimintanya tanpa mengundang penolakan seketika dan keterkejutan dari pegawai kantoran sederhana.

Akhirnya dengan ragu-ragu dia menjawab:

“Aku tidak tahu berapa tepatnya, tapi kurasa aku bisa mendapatkannya dengan empat ratus franc[4].”

Wajah suaminya menjadi pucat karena dia telah menabung uang sebanyak itu agar nantinya dapat digunakannya untuk membeli senapan dan memanjakan dirinya dengan berburu saat musim panas mendatang di daerah Nanterre bersama temannya yang pernah berburu di sana setiap hari Minggu.

Tapi dia berkata:

“Baiklah. Aku akan memberimu empat ratus Franc. Dan carilah gaun yang cantik.”

Hari yang ditunggu semakin dekat, dan Mme. Loisel terlihat sedih, gelisah, dan cemas. Walau bagaimanapun gaunnya telah siap. Pada suatu malam suaminya bertanya kepadanya:

“Ada apa? Ayolah, kau sudah bertingkah aneh tiga hari terakhir ini.”

Kemudian dia menjawab:

“Aku kesal karena tidak memiliki perhiasan apapun, tidak ada satupun batu permata yang kumiliki, tidak ada yang dapat kukenakan.  Aku pasti akan terlihat seperti orang yang hidup sengsara. Mungkin lebih baik aku tidak datang sama sekali.”

Dia membalas:

“Kau bisa mengenakan bunga alami. Sekarang hal itu terlihat anggun. Dengan sepuluh franc kau bisa mendapatkan dua atau tiga mawar yang indah.”

Itu tidak cukup menyenangkan baginya.

“Tidak. Tidak ada lagi yang lebih memalukan daripada terlihat miskin di antara para wanita kaya.”

Namun suaminya berteriak:

“Bodoh sekali dirimu! Temui temanmu Mme. Forestier dan tanyakan padanya apakah kau bisa meminjam perhiasan darinya. Bukankah kau cukup dekat dengannya.”

Dia pun berteriak gembira:

“Benar juga. Aku tidak terpikir hal itu.” Keesokan harinya dia pergi menemui temannya dan menceritakan kesengsaraannya.

Mme. Forestier pergi menuju lemari pakaiannya yang memiliki pintu kaca, mengambil sebuah kotak perhiasan besar, membawanya kembali, membukanya, lalu berkata kepada Mme. Loisel:

“Pilihlah, sayang.”

Pertama-tama dia melirik beberapa gelang, kemudian kalung mutiara, kemudian salib Venetia, emas dan batu berharga lainnya yang dibuat dengan sangat indah. Dia mencoba beberapa perhiasan di depan kaca, ragu-ragu, tidak sanggup untuk berpisah dengannya, untuk mengembalikannya lagi. Dia terus bertanya:

“Apa kau punya yang lain?”

“Tentu saja ada. Lihatlah. Aku tidak tahu apa yang kau suka.”

Tiba-tiba dia menemukan, dalam kotak satin hitam, sebuah kalung berlian yang sangat indah; kemudian jantungnya mulai berdetak dengan keinginan yang menggebu-gebu. Tangannya bergetar hebat saat dia mengambilnya. Dia mengenakannya di lehernya, di luar gaunnya yang berleher tinggi, dan terhanyut dalam kegembiraan hanya dari melihat penampilannya.

Kemudian dengan ragu-ragu dia bertanya:

“Bolehkah aku meminjam ini, hanya ini saja?”

“Tentu saja bisa.”

Dengan girangnya dia memeluk leher temannya, menciumnya dengan sangat girang, kemudian pergi membawa harta karunnya.

Hari pesta itu pun tiba. Mme. Loisel sukses besar. Dia terlihat lebih cantik daripada mereka semua, elegan, anggun, tersenyum, dan gembira bukan kepalang. Semua mata lelaki menuju padanya, menanyakan namanya, berusaha berkenalan dengannya. Semua jajaran Kabinet ingin berdansa dengannya. Dia bahkan disanjung oleh sang menteri itu sendiri.

Dia menari dengan mabuk kepayang, sangat bersemangat, dibuat mabuk oleh kenikmatan, melupakan segala hal, dalam riuh kemenangan kecantikannya, dalam kesuksesannya, dalam semua jenis awan kegembiraan yang terbentuk dari semua yang hadir di sana, dari semua kekaguman, dari semua kedengkian, dan dari rasa kemenangan penuh yang terasa sangat manis bagi hati wanita.

Dia beranjak pergi jam empat pagi. Suaminya telah tertidur sejak tengah malam di ruang depan kecil dengan tiga pria lain yang istrinya sedang bersenang-senang.

Suaminya memakaikannya mantel hangat yang telah dibawanya, mantel sederhana yang mencerminkan hidup orang biasa, yang cerminan kemiskinannya tampak kontras dengan keangunan gaun pestanya. Istrinya menyadari hal ini dan ingin segera berlari agar tidak dikomentari oleh wanita lain yang membungkus diri mereka dengan mantel bulu yang mahal.

Namun Loisel menahannya.

“Tunggu sebentar. Kau akan kedinginan di luar. Aku akan mencarikan kita tumpangan.”

Tapi dia tidak mendengarkan suaminya, dan dengan cepat berlari menuruni tangga. Ketika mereka tiba di jalan, mereka tidak dapat menemukan kereta kuda; dan mereka mulai mencari, berteriak kepada kusir yang mereka lihat sedang melintas di kejauhan.

Mereka berjalan menuju Seine, dengan putus asa, gemetar karena kedinginan. Akhirnya mereka menemukan satu kereta kuda malam yang seolah tampak malu menunjukkan penderitannya di siang hari sehingga tidak pernah tampak terlihat di sekitar Paris sampai malam hari.

Kereta itu membawa mereka sampai ke rumah mereka di Rue des Martyrs, dan sekali lagi, malangnya, mereka harus mendaki agar dapat sampai ke rumah mereka. Semua telah berakhir baginya. Sementara bagi suaminya, dia teringat bahwa dia harus tiba di kantor besok jam sepuluh pagi.

Dia melepaskan mantelnya yang menutupi pundaknya di depan pintu kaca agar dapat sekali lagi melihat dirinya dalam kemenangan. Namun kemudian dia berteriak. Kalung tersebut tidak ada di lehernya!

Suaminya yang sudah melepaskan setengah pakaiannya, bertanya:

“Ada apa denganmu?”

Dia menoleh dengan liar ke arah suaminya.

“Aku telah… aku telah… aku telah kehilangan kalung milik Mme. Forestier.”

Suaminya segera berdiri.

“Apa! Bagaimana bisa? Tidak mugkin!”

Dan mereka mulai mencari di lipatan gaunnya, di lipatan mantelnya, di dalam sakunya, di manapun.

Mereka tidak dapat menemukannya. Suaminya bertanya:

“Kau yakin kau masih mengenakannya saat meninggalkan pesta?”

“Iya, aku masih dapat merasakannya di ruang depan Istana.”

“Tapi kalau kau menghilangkannya di jalan, kita pasti sudah mendengarnya jatuh. Pasti tertinggal di kereta.”

“Iya. Mungkin. Apa kau ingat nomornya?”

“Tidak. Dan kau, apa kau tidak melihatnya?”

“Tidak.”

Mereka saling bertatapan, termangu menghadap satu sama lain. Kemudian Loisel mengenakan pakaiannya.

“Aku harus kembali dengan berjalan kaki,” ujarnya, “menelusuri kembali jalan yang telah kita lewati tadi untuk mencarinya.”

Suaminya pun pergi. Dia duduk menunggu di kursi, masih mengenakan gaun pestanya, tanpa tenaga untuk pergi tidur, kebingungan, tanpa semangat, tanpa pikiran.

Suaminya kembali jam tujuh pagi. Dia tidak menemukan apa-apa.

Suaminya kemudian pergi ke kantor polisi, ke kantor surat kabar, untuk menawarkan imbalan bagi yang menemukannya; dia pergi ke perusahaan angkutan—ke manapun, sebenarnya, ke mana saja yang dapat memberikannya harapan walau hanya secuil.

Dia menunggu sepanjang hari, dengan kondisi yang masih sama; ketakutan yang menjadi-jadi akan bencana besar ini.

Loisel kembali pada malam hari dengan wajah pucat dan hampa; dia tidak menemukan apapun.

“Kau harus menulis surat kepada temanmu,” sarannya, “katakan padanya kalau kau merusak pengait kalungnya dan saat ini sedang diperbaiki. Itu akan mengulur waktu untuk kita.”

Dia menulis sesuai perintah suaminya.

Satu minggu kemudian mereka telah kehilangan harapan.

Dan Loisel yang telah tampak semakin menua berujar:

“Kita mungkin harus mengganti perhiasan itu.”

Keesokan harinya mereka membawa kotak penyimpan kalungnya, dan mereka pergi menemui pembuat perhiasan yang namanya tercantum di dalamnya. Dia melihat buku catatannya agar dapat mengingatnya kembali.

“Bukan saya yang menjual perhiasan itu, Madame; saya hanya sekedar menghias kotaknya.”

Mereka mencari dari satu pengrajin ke pengrajin yang lain, mencari kalung yang sama, meminta mereka untuk mengingat-ingatnya, hal ini membuat mereka muak akan kekecawaan dan penderitaan.

Mereka menemukan sebuah toko di Palais Royal, serangkaian berlian yang terlihat sama persis dengan yang sedang dicari mereka. Harganya empat puluh ribu franc. Namun mereka dapat memilikinya hanya dengan tiga puluh enam ribu franc.

Kemudian mereka memohon kepada pembuat perhiasan tersebut agar tidak menjualnya selama tiga hari ke depan. Dan mereka pun membuat penawaran bahwa dia harus membelinya kembali dengan harga tiga puluh empat ribu franc jikalau mereka menemukan kalung yang hilang tersebut sebelum akhir Februari.

Loisel memiliki delapan ribu franc dari peninggalan ayahnya. Dia akan meminjam sisanya.

Dia memang jadi meminjam uang, seribu franc dari seseorang, lima ratus dari yang lain, lima louis di sini, tiga louis di sana. Dia mengeluarkan wesel, berhutang banyak, berurusan dengan rentenir, dan semua jenis pemberi pinjaman. Dia membahayakan sisa hidupnya dan tanda tangannya tanpa mengetahui apakah dia dapat memenuhi itu semua; dan ketakutan akan kepedihan yang kunjung tiba, akan penderitaan kelam yang sebentar lagi menimpanya, akan kemungkinan hidup melarat dan semua siksaan moral yang akan dideritanya, dia pergi untuk membeli kalung itu dengan menaruh tiga puluh enam ribu franc di meja kasir.

Ketika Mme. Loisel mengembalikan kalungnya, Mme. Forestier berkata kepadanya dengan sikap dingin:

“Seharusnya kau segera mengembalikannya, mungkin aku membutuhkannya.”

Dia tidak membuka kotaknya sebagaimana yang ditakutinya. Kalau dia mengetahui bahwa kalungnya telah diganti, apa yang akan dipikirkannya, apa yang akan dikatakannya? Apa dia tidak akan menganggap Mme. Loisel sebagai pencuri?

Mme. Loisel tidak menyadari keparahan dari kemelaratan hidupnya. Bagaimanapun dia siap melakukan tugasnya dengan sikap kepahlawanan. Hutang mengerikan itu harus dibayar. Dia akan membayarnya. Mereka memberhentikan pelayannya; mereka pindah rumah; mereka menyewa sebuah kamar loteng.

Dia akhirnya menyadari betapa lelahnya mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan berurusan dengan urusan di dapur yang menjengkelkan. Dia mencuci piring, menggunakan kukunya yang elok bak mawar untuk membersihkan mangkuk dan panci yang berminyak tebal. Dia mencuci kain linen yang kotor, pakaian, dan kain lap makan, lalu dijemurnya dengan berjajar; dia membawa air sisa cuciannya melewati jalanan setiap pagi, dan mengangkat air bersih, berhenti sebentar-sebentar untuk bernapas di setiap undakan tangga. Dan berpakaian seperti wanita biasa, dia pergi menuju penjual buah, grosir, tukang daging dengan keranjang di lengannya, menawar, dihina, mempertahankan hidupnya sou demi sou[5].

Setiap bulan mereka harus membayar beberapa tagihan wesel, memperbaharui yang lain untuk mendapatkan waktu lebih.

Suaminya bekerja sampai malam membuat salinan akun pedagang, dan saat larut malam dia sering membuat salinan manuskrip dengan imbalan lima sou per halaman.

Dan kehidupan seperti ini berjalan selama sepuluh tahun.

Setelah sepuluh tahun, akhirnya mereka dapat melunasi semuanya, semuanya, dengan tingkat bunga yang ditetapkan oleh sang rentenir, dan akumulasi dari bunga per bulannya.

Mme. Loisel terlihat tua sekarang. Dia telah menjadi wanita melarat—kuat, keras, dan kasar. Dengan rambut berantakan, roknya miring, dan tangannya berwarna merah, dia berbicara dengan suara nyaring sambil mengepel lantai dengan desiran air yang keras. Namun terkadang, ketika suaminya di kantor, dia duduk di dekat jendela, dan dia mengingat kembali malam ceria yang telah lama berlalu, saat pesta di mana dia terlihat sangat cantik dan bahagia.

Apa yang akan terjadi jika dia tidak menghilangkan kalung itu? Siapa yang tahu? Siapa yang tahu? Betapa hidup ini sangat aneh dan selalu berubah-ubah! Betapa kecilnya hal yang dapat membuat kita tersesat atau terselamatkan!

Namun pada suatu kesempatan di hari minggu, saat sedang berjalan-jalan di Champs Elysées untuk menyegarkan dirinya setelah bekerja keras seminggu penuh, dia tiba-tiba melihat seorang wanita yang sedang menggandeng seorang anak. Dia adalah Mme. Forestier, masih terlihat muda, cantik, dan menawan.

Mme. Loisel merasa tergerak hatinya. Apakah dia akan berbicara kepadanya? Iya, tentu saja. Dan sekarang dia telah melunasi hutangnya, dia akan menceritakan yang sebanarnya kepadanya. Kenapa tidak?

Dia berjalan ke arahnya.

“Selamat siang, Jeanne.”

Wanita tersebut tercengang karena disapa dengan familiar oleh ibu rumah tangga sederhana ini, karena tidak mengenalnya sama sekali dia bertanya dengan tergagap:

“Tapi—madame!—aku tidak kenal—Anda pasti salah orang.”

“Tidak. Aku Mathilde Loisel.”

Temannya mengeluarkan teriakan kecil.

“Oh, Mathilde-ku yang malang! Kau terlihat sangat berbeda!”

“Iya, aku mengalami hari-hari yang cukup keras sejak terakhir kali kita bertemu, hari-hari yang cukup malang—dan itu karena kau!”

“Karena aku! Bagaimana bisa?”

“Apa kau masih ingat dengan kalung berlian yang kau pinjamkan kepadaku agar dapat kupakai di pesta kementerian?”

“Iya. Lalu?”

“Well, aku menghilangkannya.”

“Apa maksudmu? Kau membawanya kembali.”

“Aku membawakanmu yang sama persis dengan itu. Dan oleh karenanya kami harus membayar hutang kami selama sepuluh tahun. Kau pasti mengerti betapa sulitnya itu untuk kami, kami yang tidak memiliki apa-apa. Akhirnya semuanya berakhir, dan aku sangat senang.”

Mme. Forestier bergeming.

“Kau bilang kau membeli sebuah kalung berlian untuk mengganti milikku?”

“Iya. Jadi kau tidak pernah menyadarinya! Mereka sangat mirip.”

Kemudian temannya tersenyum dengan nada riang yang terdengar bangga dan naïf.

Mme. Forestier, dengan sangat terharu, menggenggam kedua tangan Mathilde.

“Oh, Mathilde-ku yang malang. Kalungku tentu saja hanya imitasi. paling mahal harganya lima ratus franc!”

[Selesai]



Catatan Penerjemah:
[1]      Bodouir; (berasal dari bahasa Prancis) kamar tidur atau ruang pribadi wanita.[2]     Pot-au-feu; Sup daging asal Prancis. Biasanya memakai daging sapi dan sayur-sayuran dan dimasukkan dalam mangkuk besar.[3]     M. dan Mme.; singkatan untuk Monsieur dan Madame dalam bahasa Prancis. Sama seperti Mr. dan Mrs. Dalam bahasa Inggris.[4]     Franc; mata uang Prancis.[5]     Sou; satuan uang yang pernah dipakai di Prancis. Berbentuk uang logam. Merupakan satuan terkecil dalam mata uangnya. Sama seperti sen dalam dolar.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar